Anak punk saat apel di Lapangan Kompleks Sekolah Polisi Negara
(SPN) Seulawah, Aceh Besar, Selasa (20/12/2011). Pembinaan secara mental
dan spiritual 60 punker asal Aceh, Sumatera Utara, dan Pulau Jawa
tersebut berakhir 23 Desember 2011.
Dari
Kabid Humas Polda Aceh AKBP Gustav Leo, sebagaimana dilaporkan media,
Jumat (16/12), terungkap bahwa 65 anak Punk yang ditangkap saat gelar
konser (10/12) senang-senang saja menjalani pembinaan di sekolah polisi,
SPN Aceh. Benarkah Punkers itu senang acara konser amalnya dibubarkan,
ditangkap, digunduli, dicebur, dilepas tindik oleh polisi? Rasanya
sangat berlebihan untuk mengatakan mereka senang, bukan?
Bukankah
rambut, baju, dan tindik itu "mahkota" yang menjelaskan identitas
mereka? Bagaimana jika "bruk kreung" (lencana KORPRI) yang melakat di
dada pejabat atau tanda pangkat di bahu aparat dicabut? Atau, rambut
perempuan di cukur? Meski pencabutan dan pencukuran itu karena alasan
kesalahan rasanya terlalu berlebihan jika ditafsir senang-senang saja.
Apalagi
jika merujuk pada pernyataan LBH Aceh, Koalisi NGO HAM, dan Kontras
Aceh. Jika benar ada potensi dan indikasi pelanggaran hukum dan HAM yang
dilakukan aparat atas anak Punk tentu saja penilaian soal senang-senang
saja hanya sebuah usaha mensederhanakan keadaan untuk menutupi fakta
yang ada.
Tapi tunggu dulu. Rasanya ada benar juga jika anak Punk
itu senang-senang saja sebagaimana yang disampaikan oleh AKBP Gustav Leo
melalui media. Pertama, siapa yang tidak senang disekolahkan atau
dibina. Kembali ke jalan yang lurus tentu saja akan menyenangkan. Tidak
semua orang punya kesempatan untuk bisa kembali ke jalan yang lurus.
Lihatlah anak-anak jalanan lainnya yang bukan Punkers. Tidak ada yang
mendapat pembinaan secara khusus di Sekolah Polisi Nasional (SPN) Aceh.
Kedua,
siapa yang tidak senang jika menjadi diri yang tidak lagi meresahkan
masyarakat banyak. Pasti lebih senang menjadi "anak manis" ketimbang
jadi "anak nakal" yang melakukan aksi ngemis paksa, nyanyi yang
menyakitkan telinga pendengar, atau menggunakan narkoba, tidur
sembarangan dan pakaian seadanya. Jadi, mungkin saja mereka senang
karena bisa kembali menjadi seperti anak-anak lainnya.
Ketiga,
bisa jadi juga mereka senang karena bisa segera terbebas setelah
sebelumnya melanggar regulasi lokal (Aceh) tentang syariat Islam. Aceh
adalah daerah yang diakui kekhususannya dan karena itu mendapat hak
untuk memiliki regulasi khusus baik karena memang diakui negara maupun
karena kesepakatan yang dihasilkan dari perjanjian. Dalam MoU Helsinki
dan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) juga ditegaskan soal
identitas Aceh yang bersifat istimewa dan khusus.
Maka wajar
manakala kepada mereka yang mendukung anak Punk dan menunjukkan
kemarahannya pada pembinaan yang dilakukan oleh aparat dan penguasa
mendapat perlawanan dan dicurigai sudah ditumpangi kepentingan Yahudi.
Sejumlah protes dan tekanan yang disampaikan oleh negara/badan/lembaga
asing yang dikaitkan dengan HAM pun dikecam sebagai tidak pada tempatnya
dan dianggap tidak memahami kekhususan Aceh dalam bingkai NKRI.
Paradoks AcehSaya
juga setuju jika 65 anak Punk itu senang-senang saja menjalani
pembinaan ala polisi. Mereka benar-benar senang dan saya percaya itu.
Tapi tunggu dulu. Saya percaya mereka senang bukan dengan tiga alasan di
atas. Saya bisa memahami Punkers itu senang karena pada komunitas ini
terkandung unsur gerakan dan sekaligus pemendam jiwa pemberontak
(rebellious thinkers). Cobalah bertanya pada mereka yang dulu
menempatkan dirinya sebagai pemberontak. Apakah mereka bersedih manakala
ditangkap, ditahan, dan dibina? Bahkan dulu ada banyak pang-lima di
GAM "disekolahkan" melebihi makna "sekolah" yang dialami anak Punk-65
(baca 65 anak Punk).
Berbeda dengan kebanyakan pemberontak yang
melegalkan penggunaan senjata atau minimal menggunakan kerja-kerja
politik untuk melakukan perlawanan. Anak Punk justru tampil beda. Mereka
menjadikan gaya, tingkah, dan suara mereka sebagai media protes atau
kritik serta perlawanan. Itulah modal nilai "we can do it ourselves"
yang terwujud secara nyentrik, aneh, dan nyeleneh.
Jadi bisa
dipahami mengapa ada banyak orang dan penguasa menjadi sebal, muak, dan
mules atau resah kala bersinggungan dengan anak Punk yang ada di Aceh.
Padahal, kemuakan dan keresahan orang lain pada diri mereka adalah
terjemahan langsung dari kemuakan dan keresahan Punkers terhadap
masyarakat, pemerintah dan juga negara yang "bertopeng."
Ibarat bait
lagu "bukalah topengmu" aksi-aksi anak Punk di Aceh baru-baru ini
menjadi bentuk "harakiri" sosial-politik mereka untuk menghasilkan
self-critic (kritik-diri) guna mengakhiri paradoks Aceh pasca-damai.
Salah satu bentuk paradoks Aceh bisa langsung terlihat pada cara-cara
penguasa memperlakukan mereka. Dengan alasan lokalitas Aceh (identitas
dan regulasi khusus/syariat) keberadaan mereka tidak diakui dan ditolak
untuk hidup dan berkembang di Aceh.
Sebelumnya, lokalitas Aceh
dibidang politik justru ditolak begitu terkena penguasa dan pihak
lainnya. Lokalitas Aceh dibidang politik langsung disebut melanggar
hukum, undang-undang dan HAM dan pihak asingpun menjadi sekutu
strategis. Paradoks Aceh juga terlihat pada penerapan hukum syariat.
Pelaku dari rakyat biasa dikenai sanksi syariat sementara kasus-kasus
yang melanggar syariat dan idiologi Islam seperti korupsi dan lainnya
tidak terkena sanksi syariat. Begitu juga manakala ada kasus-kasus
pelanggaran syariat dikalangan pejabat tidak terlihat adanya penerapan
hukum syariat, dengan berbagai alasan teknis.
Paradoks Aceh yang
paling gawat adalah kala citra keacehan hanya dipakai sebagai alat
pencitraan semata. Bukankah sangat berbahaya manakala menyebut diri
sosok religius jika dalam kenyataannya curang? Bukankah sangat
menakutkan manakala menyebut diri sebagai negeri yang salam (damai) jika
masih hobi dengan praktek-praktek yang mendorong munculnya kekerasan?
Bukankah akan sangat mengancam pembangunan Aceh jika memiliki pemimpin
yang hanya baik secara pencitraan tapi buruk dalam perilaku dan moral?
Paradok
Aceh itu tentu sangat berbahaya dan Punkers di Aceh telah melakukan
"harakiri" sosial-politik untuk memberi self-critic agar segera
mengakhiri paradoks Aceh. Jika paradoks Aceh bisa berakhir maka bukan
hanya Punkers yang tersenyum lebih lebar tapi juga segenap rakyat Aceh
dan bisa saja anak Punk asli kelahiran Aceh akan kembali ke khazanah
kritik ala Aceh. Mereka akan segera melambaikan tangan kepada
rekan-rekannya yang datang dari luar Aceh dan berucap "sampai ketemu di
daerah kalian. Di sana kita akan melakukan aksi nyentrik, aneh, dan
nyeleneh seperti kita lakukan di Aceh sambil menyanyikan bait lagu
bukalah topengmu dengansuara yang meresahkan semua orang agar mereka
juga tahu betapa resahnya kita akibat topeng mereka."
sumber: www.kompas.com